Membangkitkan Seni Ukir Kamoro

28 March 2022

Hendrikus Wiriyu (33) tak pernah menghitung jumlahh patung kayu yang pernah diukirnya. Namun, pemuda suku Kamoro itu mengingat eme alias tifa, gendang khas Papua, sebagai karya ukir pertamanya saat berusia 17 tahun. “Saya mulai mengukir setelah diinisiasi lewat karapao,” kata Hendrikus alias Hengky, Jumat (18/3/2022), ditemui di Kampung Nawaripi, Distrik Wania, Kabupaten Mimika, Papua. Karapao adalah ritual besar pengukuhan hak adat bagi anak laki-laki Kamoro untuk meneruskan tradisi garis keturunannya sebagai pengukir, penari, penyanyi untuk ritual adat, atau peran lainnya.

Sebagai tugas awal, eme tak bisa dianggap sepele. Ia mesti mencari sendiri kayu warn di hutan, memotongnya menjadi gelondongan, memahat, lalu mengukir motif seperti insang ikan dan sungai di permukaannya. Selaput gendangnya pun diambil dari kulit biawak. Dari waktu ke waktu, karya Hengky semakin banyak. Satu per satu ukiran itu dibeli kolektor seni Ibu Kota dengan nilai hingga jutaan rupiah. Perantaranya adalah Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, artinya Seorang Pengukir Muda, sebuah lembaga pelestari budaya Kamoro. “Uangnya saya pakai beli alat pahat dan ukir. Sekarang saya fokus menjadi pengukir,” ujar Hengky.

Siang itu di Kampung Nawaripi, tepatnya di bengkel ukir Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, Hengky sibuk dengan sebuah karya baru. Sebilah kayu sedikit demi sedikit ia pahat dengan pisau ukir dan palu untuk dibentuk menjadi perahu, miniatur alat transportasi sehari-hari orang Kamoro. Sebelumnya, ia juga memberikan sentuhan terakhir pada sebuah yamate atau perisai kayu setinggi 1,2 meter. Permukaan yamate itu penuh ukiran, dari bentuk kepala dan cangkang penyu, jari-jari kepiting, bintang, kulit buaya, dan insang ikan, yang diberi aneka warna.

Herman Kiripi (43), Ketua Yayasan Maramowe yang juga pengukir, mengatakan, semua motif ukiran itu melambangkan makanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari suku Kamoro. “Meski motifnya sama, orang Kamoro kalau bikin ukiran tidak akan pernah mirip. Setiap karya itu unik, selalu ada perbedaan,” katanya. Untuk mewarnai motif-motif itu, para pengukir Kamoro hanya menggunakan pewama alami, sebagaimana pada yamate Hengky. Warna merah, misalnya, didapatkan dari biji-biji kecil buah watae atau kesumba keling (Bixa orellana), sedangkan hijau dari dedaunan tanaman rambat, seperti ubi jalar.

Dengan segala keunikannya, tradisi seni ukir begitu sarat makna dalam kehidupan suku Kamoro. Layaknya foto, kata Herman, ukiran orang Kamoro untuk mengenang dan mengabadikan orang-orang yang mereka kasihi, seperti orangtua. Di samping itu, berbagai ritual adat hanya dapat diadakan dengan ukiran tertentu. Karapao, misalnya, hanya bisa terlaksana jika tiang mbitoro yang penuh ukiran, dari wajah manusia hingga sayap di puncaknya, telah berdiri. Pembuatan mbitoro, dari kayu dan akar pohon kiiko alias kepuh (Sterculia foetida) juga diiringi berbagai ritual sakral sejak penebangan pohonnya. Maka, kata Herman, ukiran tak akan pernah bisa terlepas dari identitas orang Kamoro. “(Seni ukir) Harus kami buat terus supaya (tradisi) ini tidak terputus. Jadi, anak dan cueu kami bisa ikut mengukir,” ujarnya.

 

Degradasi

Bagi pendiri sekaligus pendamping Yayasan Maramowe, Luluk Intarti, setiap karya ukir Kamoro selalu memiliki jiwa dan cerita di baliknya. Motif-motif yang dihasilkan kemudian dapat dikategorikan penggunaannya, yaitu sebagai cerminan kehidupan sehari-hari dan untuk ritual. Kendati begitu, seni ukir sempat menghilang dari kehidupan Kamoro yang mendiami wilayah pesisir sepanjang 250 kilometer dari Kampung Potowaiburu di Mimika Barat Jauh hingga Kampung Otakwa di Mimika Timur Jauh. Itu terjadi pada abad ke-19 ketika pemerintah kolonial Belanda mendirikan outpost di Kokonao, Mimika Barat, dan Gereja Katolik.

Pemerintah Belanda membentuk kampung-kampung untuk menghentikan pola semi nomaden orang Kamoro yang menghambat pendataan warga. Di samping itu, ritual-ritual adat, seperti perpindahan dari tanah lumpur ke tanah pesisir serta karapao, yang dapat memakan waktu 1,5 tahun, juga dilarang. Akibatnya, seni ukir pun menghilang bersama ritual-ritual itu. “Kalau ritual hilang, ukiran tidak lagi punya makna sehingga orang Kamoro berhenti mengukir. Terjadilah degradasi budaya ukir,” katanya.

Keadaan ini bertahan bertahun-tahun hingga kehadiran ahli sejarah dan antropologi berkebangsaan Amerika Serikat dan Hongaria, Kai Muller, pada 1996 ke Kampung Kamoro. Luluk mengatakan, Muller melihat potensi seni ukir Kamoro yang juga luar biasa layaknya di kalangan suku Asmat. Karena itu, Muller menggagas festival budaya Kamoro Kakuru dengan meminta bantuan dari PT Freeport Indonesia (PT FI). Festival ini kemudian diikuti beragam upaya revitalisasi tradisi ukir Kamoro, terutama penelitian, pengumpulan data, dan pelatihan demi membangkitkan kembali semangat mengukir.

Di samping itu, tim revitalisasi budaya ukir yang adalah cikal bakal Yayasan Maramowe ini juga memfasilitasi pemasaran karya, pertama dengan pendirian sebuah galeri kaiya ukir di Kampung Nawaripi. Di samping itu, tim yang dipimpin Muller juga menjembatani pemasaran ke para kolektor seni, antara lain di Jakarta dan Bali, dengan menggelar pameran. “Program kerja Pak Muller untuk menyelamatkan budaya Kamoro ini dapat dukungan penuh dari Freeport. Semangat dan kebanggaan mengukir muncul lagi. Dampaknya, ukiran tetap ada, mutu ukiran lebih bagus. Jumlah seniman juga bertambah banyak, terutama yang muda-muda. Jadi, regenerasinya berjalan,” kata Luluk.

Menjelang masa purna tugas Muller pada 2014, Yayasan Maramowe didirikan agar kerja-kerja preservasi budaya ini tak berhenti. Kini, para pengurus yayasan rutin turun tiga bulan sekali untuk mengangkut hasil karya dari 25 kampung yang didiami suku Kamoro untuk dipasarkan. Herman, ketua yayasan, menyebut cara ini memudahkan pengukir. Mereka tak perlu susah-susah berlayar dengan perahu dan menempuh jalur darat ke Nawaripi untuk menjual ukirannya. “Ketika kami turun ke lapangan untuk mengambil ukiran itu, biasanya kami beri DP (down payment/jaminan) lebih dulu. Misal harga ukiran Rp 600.000, kami beri DP Rp 300.000. Setelah ukiran terjual, baru sisanya kami berikan ke pengukir supaya mereka tidak putus mengukir, kata Herman.

Sulitnya akses ke kampung-kampung Kamoro akibat minimnya infrastruktur menjadi tantangan terbesar Yayasan Maramowe kini. Namun, kata Luluk, semua itu bisa terlaksana berkat dana pengembangan masyarakat PT FI. “Setiap tahun paling tidak sampai Rp 4 miliar, kadang lebih,” katanya. Luluk menilai program revitalisasi budaya Kamoro sukses karena besarnya minat masyarakat untuk terus mengukir. Dia mengatakan, suku-suku asli Papua di pesisir sebenarnya memiliki budaya ukir, baik di sepanjang pesisir utara maupun selatan. Namun, tradisi itu kini hanya bertahan di suku Asmat, Sempan, dan Kamoro. “Kalau ukiran Asmat, kan, semua orang tahu. Tetapi tidak semua orang tahu tentang budaya Kamoro. Nah, inilah yang harus kita rawat, kita bantu promosikan,” ujarnya.

Penanggung jawab program pengembungan budayii Kamoro dari Community Development PT FI, Reza Sofyan, mengatakan, perusahaan bertanggung jawab menjaga budaya dan kearifan lokal. “Kami ingin pengukir muda tumbuh. Namun, kalau pengukir tidak memiliki pendapatan, kan, tidak mungkin berkembang. Jadi, kami terus membantu agar mereka inau jadi pengukir dan bisa mendapat penghasilan,” katanya.

Back to List

Berita Selanjutnya

news thumb 2
05 May 2017

Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Komoro (LPMAK), sebuah lem...

20 July 2017

PT Freeport Indonesia menggandeng pemerintah daerah setempat membuat k...